Perjuangan penghapusan surat ijo mengalami pasang surut, hal itu dikarenakan perjuangan melalui pengadilan negeri, PTUN hingga perjuangan politik tidak membuahkan hasil maksimal. Justru sekarang ini setelah dikeluarkannya peraturan daerah No. 16 tahun 2014 tentang pelepasan surat ijo isinya merugikan warga. Karena pelepasan yang dilakukan oleh pemerintah kota setengah hati. Hal ini bisa dilihat dengan syarat-syarat yang ditentukan, misalnya maksimal luas tanah tidak lebih dari 250 m, pemilik hanya satu nama dalam persil IPT dan penggantian biaya ke pemerintah kota 100% NJOP.
Harus diakui jika kita mengikuti alur pemikiran perda No. 16 tahun 2014, secara tidak langsung kita mengakui keberadaan tanah-tanah yang kita tempati adalah milik pemerintah kota. Padahal hingga sekarng pemerintah kota tidak pernah mampu membuktikan kepemilikan tanah- tanah yang ditempati warga pemilik surat ijo.
Untuk itulah kita harus merubah perjuangan, kita mencoba membawa permasalahan surat ijo ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, kenapa ke MK? Lembaga MK adalah lembaga yang credible dan steril dari suap. Dan MK beberapa kali telah berani menunjukkan keberaniannya dalam mengambil keputusan yang membela hak-hak rakyat sesuai diatur dalam UUD 1945.
Bahwa, Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 7 menjelaskan; Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
UU ini meski dibuat oleh orde lama, tapi isinya sangat pro rakyat, dimana kepemilikan tanah agar tidak merugikan kepentingan warga negara, maka harus ada pembatasan kepemilikan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan; Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
Apa itu hak sebagaimana di atur dalam pasal 16 UU No. 5 tahun 1960 yaitu;
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Termasuk di dalamnya adalah Hak Pengelolaan. Pemerintah kota Surabaya adalah badan hukum yang termasuk lembaga yang harus dibatasi kepemilikannya. Selama ini pemerintah kota kepemilikan tanahnya meliputi Hak Pakai dan Hak Pengeloaan. Pertanyaannya apakah tanah-tanah yang diklaim milik pemerintah kota ditempati atau dikuasai pemerintah kota? Jawabnya tentu hanya gedung-gedung dan prasarana olah raga saja yang dikuasai oleh pemerintah kota. Selebihnya ditempati warga.
Dan anehnya warga yang memiliki IPT dari pemerintah kota sejak sebelum kemerdekaan sudah menempati tanah tersebut, pertanyannya atas dasar apa klaim pemerintah kota memiliki tanah tersebut?
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi nantinya kementrian Agraria dan pemerintah kota akan dipanggil oleh MK, disana kita bisa berdebat asal sejarah tanah yang kita miliki, dan kita meminta MK memberikan tafsir konstitusi terhadap pasal 7 dan pasal 17 UU No. 5 tahun 1960, tentang tanah-tanah yang diklaim milik pemerintah kota.
Batu uji dalam gugatan kita adalah pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan; Setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil ali secara sewenang-wenang ole siapapun. Warga Surabaya berhak memiliki tanah hak milik, warga Surabaya bukan hidup di jaman penjajahan Belanda, maka untuk memiliki tanah hak milik bukanlah barang terlarang. MK harus memberikan tafsir kepemilikan tanah pemerintah kota hanya sebatas tanah-tanah yang digunakan oleh kepentingan instansi pemerintah kota, hal ini sesuai dengan maka menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 yang menyatakan Hak pakai yang dimiliki pemerintah daerah adalah; terbatas pada tanah Negara untuk kepentingan langsung instansi itu sendiri.
Ketika perjuangan ini dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka semua warga Surabaya yang memiliki IPT dari Pemerintah kota, maupun warga yang tidak memiliki IPT berhak menaikkan hak tanahnya menjadi hak milik ke Badan Pertanahan Nasional Surabaya, tanpa batasan luas kepemilikan.
Oleh: M. Sholeh