Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Sebelum kita bicara tentang hukum acara Mahkamah Konstitusi, ada baiknya kita mengenal sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi dan apa saja kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
MK adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (b) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat kewenangan itu adalah: (1) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.
Sengketa Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara
Pada umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini, orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif. Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak dapat keluar dari paradigma lama ketika UUD 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian ‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara.
Oleh karena itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang bersengketa.
Dengan cara pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan hanya dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan hanya menyatakan: “Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD.
Sengketa Hasil Pemilihan Umum
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.
Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden.
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
Pengujian Undang-Undang
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan untuk “… membanding undang-undang…”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang – setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Pendaftaran Permohonan dan Sidang
Setiap permohonan yang diajukan lebih dulu diteliti oleh Panitera MK yang dimaksudkan memeriksa kelengkapan permohonan. Jika permohonan belum lengkap wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Sesudah dinyatakan lengkap barulah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara yang memuat catatan tentang kelengkapan administrasi serta, nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Jika sudah diregister MK selanjutnya menetapkan hari sidang paling lambat 14 hari kerja sejak diregister. Hari sidang diberitahukan kepada para pihak dan dipulikasikan kepada masyarakat pqada papan pengumuman yang khusus diperuntukan untuk itu. Meskipun sudah diregister dan sudah diperiksa dalam persidangan abaik sidang panel maupun sidang pleno pemohon tetap berhak menarik kembali permohonannya. Penarikan permohonan berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali.
Dalam sidang panel alat bukti dapat diajukan sebagai kelemngkapan permohonan diperiksa oleh majelis panel. Namun alat bukti yang dalam persidangan panel belum diajukan bisa saja diajukan pada sidang pleno. Agak berbeda dengan bukti dalam perkara perdata dan pidana. Dalam persidangan di MK alat bukti meliputi: a. surat atau tulisan yang dipertanggungjawabkan per-olehannya secara hukum; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sah tidaknya semua alat bukti ditentukan oleh MK dalam persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Dalam persidangan di MK para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan MK. Akan tetapi surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan. Bagi pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. MK dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa apabila saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum.
Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan
Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Sidang pemeriksaan pendahuluan ini dilakukan dalam sidang panel (3 hakim). Dalam pemeriksaan ini MK berkewajiban memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Dalam persidangan pemohon dan juga termohon dapat diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Jika pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan haruslah dibuat surat keterangan yang khusus untuk kehadiran pendamping.
Adalah prinsip bahwa sidang MK terbuka untuk umum. Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan. Pelanggaran tata tertib persidangan dikualifikasikan sebagai contempt of court. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim konstitusi berkewajiban memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara tersebut wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi sejak permintaan MK diterima.
Demikian juga saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.
Putusan
MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Untuk putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti dan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Semua putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno (RPH) hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Dalam sidang permusyawaratan (RPH), setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis (legal opinion) terhadap permohonan.
Apabila RPH tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah (RPH) berikutnya. Dalam hal musyawarah setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Jika musyawarah juga tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan. Putusan dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus lebih diberitahukan kepada para pihak. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat pendapat anggota majelis hakim yang berbeda (disenting opinion) dimuat dalam putusan.
Putusan MK tentang PUU dapat berisi: jika pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat, maka permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Apabila permohonan dinilai beralasan, maka permohonan dikabulkan. Untuk PUU yang dikabulkan, maka dinyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap PUU, maka putusan PUU dapat berupa: amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, jika pemohon dan/atau permohonan tidak memnuhi syarat. Apabila permohonan dinilai beralasan, maka permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dinyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Untuk PUU formil dan ternyata menurut MK pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Jika UU yang diuji menurut MK tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Dalam Putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan UU yang diuji tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, maka UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Khusus putusan MK yang mengabulkan wajib dimuat dalam Berita negara
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Perlu menjadi catatan bahwa Undang-undang yang diuji oleh MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK tentang PUU disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA. Penyampaian ini ada hubungannya dengan fungsi masing-masing lembaga (legislator selaku pembentuk UU, eksekutif selaku pelaksana dan yudikatif selaku lembaga yang mengadili pelanggaran UU). Catatan penting bagi pemohon maupun pihak lain ialah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali dengan alasan yang berbeda.
Putusan dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara dapat berisi: Pertama, jika pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila permohonan beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Konsekuensinya MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Oleh karena itu selanjutnya termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima. Apabila putusan mengabulkan tersebut tidak dilaksanakan oleh termohon dalam jangka waktu tersebiut, pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum. Sebaliknya jika permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Putusan dalam perselisihan hasil Pemilu dapat berupa: apabila selisih yang dipersengketakan memang berpengaruh terhadap perolehan kursi bagi Parpol pemohon, hak pemohon (perorangan) terpilih berdasarkan jumlah peroleh suara, hak para pemohon (pasangan calon) terppilih sebagai Presiden/Wakil Presiden dan disertai bukti-bukti yang kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh MK. Namun jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan ditolak. Apabila tidak memenuhi syarat tentu saja MK akan menyatakan tidak dapat diterima. Perlu dicatat putusan MK mengenai sengketa perselisihan hasil Pemilu paling lamabt 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi untuk perkara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Untuk sengketa hasil Pemilu Legislatif paling lambat 30 hari sejak permohonan diregistrasi di MK.
Putusan dalam perkara pembubaran Parpol, seperti pada permohonan lainnya yang disebut terdahulu. Permohonan pembubaran Parpol yang tidak memenuhi syarat dinyatakan permohonan tidak dapat diterima. Apabila beralasan tentu saja MK menyatakan mengabulkan, sebaliknya jika permohonan tidak beralasan MK menyatakan menolak permohonan.
Legal Standing PUU
Penting untuk dipahami adalah legal standing (status hukum pemohon). Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan WNI; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Selaku pemohon, legal standing pemohon dapat dicermati pada uraian tentang identitas pribadi dan/atau lembaga, Parpol, calon anggota DPD dan Capres/Cawapres serta hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Seorang WNI yang mengajukan permohonan PUU dapat segera dipastikan bahwa yang bersangkutan memiliki legal standing dengan melampirkan foto copy KTP. Sebuah korporasi, yayasan dan koprasi dapat dibuktikan dengan akte pendirian, berita negara yang memuat nama korporasi yang aktanya sudah disahkan oleh lembaga yang berwenang. Bukti tersebut menunjukkan siapa person yang dapat bertindak mewakili korporasi yang mungkin dapat dibuktikan dalam berbagai perubahan akta. Lembaga negara tentu saja sangat dikenal, namun pembuktian tertulis acapkali dibutuhkan untuk pejabat yang mewakili. Kepala daerah, misalnya mewakili Daerah yang dipimpinnya baik di luar maupun di depan pengadilan seperti diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi perlu juga dibuktikan dengan SK Presiden, karena bukan tidak mungkin jabatan dalam persoalan, misalnya diberhentikan sementara oleh Presiden karena tersangka pelaku kasus.
Untuk Parpol meskipun dikenal oleh publik namun tentu saja dibuktikan dengan bukti terdaftar sebagai Parpol dan SK KPU sebagai peserta Pemilu. Demikian pula bagi calon anggota DPD, Capres/Cawapres dibuktikan sebagai Calon Pilpres yang didasarkan pada SK KPU sebagai pasangan calon resmi.
Hak konstitusional berkaitan dengan legal standing, namun tidak selalu mudah dielaborasi oleh pemohon, sehingga tidak jarang hak dapat didentifikasi setelah proses pemeriksaan dalam persidangan berlangsung. Memang banyak juga hak konstitusional pemohon dapat secara tegas diuraikan oleh pemohon.
Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD 1945. Kelihatan mudah dirumuskan dalam permohonan, namun kesulitan menghubungkan pengalaman dan kebutuhan potensial dengan ketentuan UUD, misalnya hak-hak warganegara civil rights, seringkali tidak tepat Pasal UUD yang dilanggar oleh ketentuan dalam UU. Demikian pula kewenangan lembaga yang diadopsi dari ketentuan tersirat dalam UUD, misalnya wewenang yang bersumber dari otonomi luas dalam Pasal 18 UUD 1945. Akhirnya kelemahan menyusun hak atau kewenangan konstitusional dapat melemahkan dalil tentang legal standing.
Daftar Pustaka.
1. Undang- Undang Dasar 1945
2. Undang- Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
3. Undang –Undang No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 24 Tentang Mahkamah Konstitusi
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2013 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 4 tahun 2014 tentang Pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden.
6. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 3 tahun 2014 tentang Pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
8. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 tahun 2005 tentang Pedoman beracara dalam perkara pengujian Undan-undang.
9. Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta.
10. Zen Zanibar MZ, SH. Makalah disampaikan dalam Pendidikan Calon Advokat Kerjasama AAI Sumsel dengan FH Unsri April-Mei 2007